Syekh Akhmat Mutamakkin Kaje
Riwayat Hidup dan Keluarga
Syeikh Ahmad Mutamakkin di kenal juga
dengan nama Mbah Cebolek, beliau adalah seorang faqih yang disegani karena
berpandangan jauh dan luas. Sebagai guru besar agama beliau berdakwah dari satu
tempat ke tempat yang lain yang beliau anggap tepat sasaran. Melihat penduduk
dibeberapa tempat yang berlainan bahasa dan adatnya, dalam memilih
daerah-daerah di pantai utara Jawa Syeikh Ahmad Mutamakkin membuat
pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu.
Adapun sejarah beliau menurut catatan
ahli tarikh, pada masa itu beliau melakukan misi dakwah menuju ke arah Barat,
sampai ke Desa Kalipang, suatu daerah yang terletak di Kecamatan Sarang
Kabupaten Rembang. Disana beliau menetap beberapa lama dan sempat mendirikan
sebuah Masjid. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan sampai ke Cebolek, sebuah
Desa di kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah, yang waktu itu Cebolek
masih bagian dari Kecamatan Juana. Setelah bermukim di Cebolek beberapa lama,
beliau kemudian hijrah ke Desa Kajen, sebuah Desa yang terletak disebelah Barat
Desa Kajen.
Sebagai guru besar Agama, Syeikh Ahmad
Mutamakkin menyebarkan Agama dan membuka lapangan pendidikan Islam untuk
mencetak mubaligh dan kader-kader agama yang nantinya akan menyambung tali
perjuangan beliau.
Menurut KH Abdurrahman Wahid,
Syeikh Ahmad Mutamakkin berasal dari Persia (Zabul) propinsi Khurasan Iran selatan. Akan tetapi, silsilah yang di
percaya masyarakat setempat Ia adalah bangsawan Jawa. Sedangkan menurut catatan
sejarah lokal Syeikh Ahmad Mutamakkin dari garis bapak adalah keturunan Raden Patah (Raja Demak) yang berasal dari Sultan Trenggono.
Sedangkan, dari garis Ibu keturunan, Syekh Ahmad Mutamakkin dari Sayyid Ali Bejagung Tuban Jawa
Timur. Sayyid ini memiliki putra namanya adalah Raden Tanu dan Raden
Tanu memiliki seorang putri yang menjadi ibunda Syekh Ahmad Mutamakkin.
Menurut sumber lain, Syeikh Ahmad
Mutamakkin masih memiliki garis keturunan langsung dengan Nabi Muhammad SAW.
Silsilah Syeikh Ahmad Mutamakkin menunjukkan pertemuannya dengan Nabi melalalui
garis ayah:
·
Syeikh Ahmad Mutamakkin bin
·
Sumahadinegara bin
·
Sunan Benawa bin
·
Abdurrahman Basyiyan bin
·
Sayyid Umar Ibnu Sayyid Muhammad bin
·
Sayyid Ahmad bin
·
Sayyid Abu Bakar Basyiyan bin
·
Sayyid Muhammad Asadullah bin
·
Sayyid Husain at-Turaby bin
·
Sayyid Ali bin
·
Sayyid al-Faqih al-Muqaddam bin
·
Sayyid Aly bin
·
Sayyid Ali Khali Qasyim bin
·
Sayyid Alwy Ibnu Sayyid Muhammad bin
·
Sayyid Alwy bin
·
Imam Ubaidillah bin
·
Imam Ahmad al-Muhajir ila Allah bin
·
Imam Isa an-Naqib bin
·
Imam Muhammad an-Naqib bin
·
Imam Alwy al-Uraidhi bin
·
Imam Jakfar al-Shadiq bin
·
Imam Muhammad al-Baqir bin
·
Imam Ali Zainal Abidin bin
·
Sayyidina Husain bin
·
Fatimah Azzahra binti
·
Sayyidina Muhammad SAW.
Silsilah lain berbeda pada tingkat
Sayyid Alwy ke bawah, silsilah ini:
·
Syeikh Ahmad Mutamakkin bin
·
Sumahadinegara bin
·
Putri sultan Trenggono binti
·
istri Raden Patah binti
·
Maulana Rahmat bin
·
Maulana Ibrahim bin
·
Jamaluddin Husain bin
·
Sayyid Ahmad Syah bin
·
Sayyid Abdullah bin
·
Sayyid Amir Abd al-Malik bin
·
Sayyid Alwy dan seterusnya seperti
silsilah di atas.
Telah disebutkan bahwa Pangeran Benowo II pada tahun 1617 M melarikan diri ke Giri untuk meminta suaka politik atas
serangan Mataram. Di ceritakan juga, adipati Tubanyang menjalin
hubungan kekerabatan dengan {{pangeran Benawa II]]. Maka dapat diasumsikan
bahwa dari hasil perkawinan itu lahir Sumadiwijaya (nama ningrat al-Mutamakkin)
tahun kelahiranya tidak diketahui secara tepat, oleh karena itu, masih di
perlukan pelacakan secara cermat tentang peninggalan dan silsilahnya.
Syeikh Ahmad Mutamakkin di lahirkan di
Desa Cebolek, 10 Km dari Kota Tuban, Ia kemudian
di kenal dengan nama Mbah Mbolek. Nama Al-Mutamakkin sebenarnya adalah gelar
yang di peroleh dari rihlah ilmiahnya di timur Tengah. Al-Mutamakkin di ambil
dari Bahasa Arab yang artinya orang yang meneguhkan hati atau diyakini akan
kesuciannya.
Di Desa Cebolek Tuban, Syeikh Ahmad
Mutamakkin menghabiskan usia mudanya. Desa Cebolek di Tuban yang sekarang
bernama Desa Winong *). Di sana terdapat peninggalannya berupa masjid Winong.
Masjid tersebut tepat berada di tepi sungai. Pelacakan secara mendalam
mengalami kesulitan karena masjid sudah di pugar berkali-kali akibat sering
terkena banjir besar. Di dalam masjid tersebut terdapat klebut (kayu agak
lonjong bulat tempat untuk menjemur kopyah atau peci haji) dan batu kecil mirip
seperti asbak. Di depan masjid terdapat sawo kecik yang cukup besar yang di
yakini terdapat keris pusaka Syeikh Ahmad Mutamakkin. Desa sunyi senyap dan
banyak penyamun ini berkat usaha KH. Mutamakkin berubah menjadi Desa yang penuh
damai dan sejahtera.
Riwayat Intelektual Beliau
Di ceritakan pada abad ke 17 hubungan Tuban dan Pati dengan daerah Banten dapat di lihat dari seringnya pelabuhan Tuban dan Juana (Pati) di singgahi
para pelayar dari Banten. Kedua pelabuhan itu mempunyai kedudukan penting bagi Mataram dalam distribusi hasil
pertanian dari pedalaman. Bahkan, dengan kebijakan Mataram yang membagi empat
wilayah daerah pesisir dua pelabuhan tersebut mampu menandingi pelabuhan Semarang dan Jepara. Terlebih
lagi ketika Jepara dipandang tidak aman karena sering terjadi pembajakan kapal.
Diduga Sheikh Ahmad Mutamakkin mengawali
perjalanan intelektualnya dengan berlayar ke Banten dan di sana beliau bertemu
dengan ulama besar Syekh Muhammad Yusup al Makassari yang kemudian beliau melanjutkan ke Negeri Timur Tengah. Dapat juga di duga
sebelum sampai ke Banten beliau singgah ke Tegal Jawa
Tengah. Hal ini di dasarkan atas makam ayahnya (pangeran Benawa II) yang diyakini terdapat di Tegal. Bahkan, di
daerah tersebut terdapat Desa yang bernama Kajen. Sepulang dari Timur Tengah,
Syeikh Ahmad Mutamakkin tidak kembali ke Tuban melainkan ke sebuah Desa di Pati bagian utara.
Sedangkan menurut KH. Maspu’duri salah
satu keluarga dekat dari keturunan Syeikh Ahmad Mutamakkin, riwayat intelektual
Syeikh Mutamakkin di peroleh pertama dari keluarganya sendiri karena keluarga
Syeikh Ahmad Mutamakkin merupakan putra salah satu keluarga ningrat dan
keluarga terdidik yaitu putra salah satu Adipati di Tuban yaitu Hadinegoro atau
Sumohadiningrat. Namun, sejak kecil Syeikh Ahmad Mutamakkin tidak menyukai gaya
hidup Keraton yang gelamor kemudian melakukan pengembaraan ke arah Barat hingga
sampai Sarang Rembang dan menetap sementara di Sarang dan mendirikan sebuah masjid, kemudian
melanjutkan perjalanan dakwah ke arah Barat dan kemudian singgah di Cebolek.
Setelah menetap di Cebolek sementara,
Syeikh Mutamakkin setiap malam setelah melakukan shalat malam atau shalat
Tahajud beliau melihat sinar ke arah atas, dan dicarilah sinar itu ke arah
Barat hingga ketemu pusat sinar yaitu di kediaman KH Shamsuddin di Desa Kajen
Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa
Tengah. Kemudian Syeikh Mutamakkin berbaiat menjadi murid dan santri
KH Shamsuddin. Akhirnya Syeikh Mutamakkin menjadi murid KH Shamsuddin, karena
kealimannya, kebagusan akhlaqnya dan kecerdasannya, Syeikh Mutamakkin kemudian
dijodohkan dan diambil menantu KH. Shamsuddin dengan seorang putrinya bernama
Nyai Shalihah.
Setelah menjadi santri KH. Shamsuddin,
Syeikh Mutamakkin kemudian melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Timur
Tengah. Syeikh Mutamakkin belajar di Timur Tengah dalam beberapa lama, salah
satu gurunya adalah makamnya ada di Madinah. Makam gurunya Syeikh Mutamakkin ada
lubangnya, dan lubangnya selalu mengeluarkan angin yang berbau harum. Namun,
karena di sana menganut paham Wahabi sekarang makam guru Syeikh Mutamakkin
tersebut sudah tidak terawat dan dibuangin sampah oleh masyarakat Arab.
Sepulang dari Timur Tengah pada abad 18,
Syeikh Ahmad Mutamakkin terdampar di Desa Cebolek, tepatnya di wilayah Pati Utara wilayah Kawedanan Tayu. Desa Cebolek merupakan nama yang diberi oleh
Syeikh Mutamakkin yang diambil dari kondisinya ketika terhempas dipantai yang
di bawa oleh muridnya dari bangsa Jin kemudian dipindahkan ke atas seekor ikan
mladang dan jebul-jebul Melek (tiba-tiba terbuka matanya atau terjaga sepulang
dari tanah suci Mekah). Dapat pula diasumsikan bahwa beliau terdampar di pantai
timur Cebolek karena kapal yang ditumpanginya dibajak oleh pembajak dari Jepara
yang pada waktu itu merajalela di laut utara Jawa.
Sepulang dari Timur Tengah pada abad 18,
Syeikh Ahmad Mutamakkin terdampar di Desa Cebolek, tepatnya di wilayah Pati Utara wilayah Kawedanan Tayu. Namun, menurut sejarah tradisi lisan yang
sekarang masih terpelihara dengan baik, sebenarnya terhempasnya Syeikh
Mutamakkin di tengah lautan itu karena Syeikh Mutamakkin dikhianati muridnya
yang dari bangsa jin. Menurut cerita KH. Maspu’duri, ketika mau berhaji, Syeikh
Mutamakkin memanggil salah seorang muridnya yang dari bangsa jin untuk
mengantarkan berhaji ke Mekah. Sewaktu pulang dari Mekah, Syeikh Mutamakkin juga diantarkan muridnya
dari bangsa jin, ketika sampai di tengah lautan berpapasan dengan Ratu jin
Kafir. Dan Ratu jin kafir itu meminta agar Syeikh Mutamakkin di lepaskan saja
oleh muridnya. Kalau tidak mau melepaskan, maka ratu jin kafir itu akan
membunuh murid dari jin Syeikh Mutamakkin. Syeikh Mutamakkin kemudian
dikhianati oleh muridnya dan ditinggalkan sendirian di tengah lautan, kemudian
Syeikh Mutamakkin pasrah kepada Allah dan memejamkan mata, sehingga ditolong
oleh ikan Mladang diantarkan ke pinggir pantai dan kemudian Syeikh Mutamakkin
membuka matanya (jebul-jebul melek). Maka daerah pantai tempat terhempasnya
Syeikh Mutamakkin ini di namakan Cebolek.
Tidak diketahui secara persis Syeikh
Ahmad Mutamakkin berguru kepada Syeikh Muhammad Zayn al-Yamani. Baik serat
Cebolek maupun lokal historis masyarakat tidak mengungkapkannya, juga tidak
tentang guru-gurunya yang lain. Akan tetapi, kita bisa bercermin pada riwayat
historis murid Jawi pendahulunya Syekh Abdul Rauf as Singkili danSyekh Yusuf al Makassari yang menyusuri kawasan Timur dan selatan Arabia termasuk Yaman sebelum sampai ke Haramain (Mekah dan Madinah). Diasumsikan, Syekh Ahmad Mutamakkin
mengikuti rute perjalanan serupa sebelum akhirnya sampai ke Mekah, dengan demikian dapat melaksanakan ibadah
Haji.
Rihlah ilmiyah dan jaringan keilmuan
Syeikh Ahmad Mutamakkin penting untuk di ungkapkan dalam tulisan ini. Jika
benar Ia mengikuti rute gurunya al Singkili dan al Makassari, maka dapat dicatat disini beberapa
tempat yang disinggahinya, yaitu Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Mekah dan Madinah. Tetapi, sebelum ke Timur Tengah penting
untuk dicatat tentang kemungkinan pertemuan Syeikh Mutamakkin dengan Muhammad Yusuf al Makassari di Banten sekitar 1691 M. Syeikh Al-Makassari di asingkan di Tanjung Harapan pada tahun 1694 M.
Kemungkinan ini di dasarkan atas catatan dalam karangan Syeikh al-Mutamakkin
yang menyebutkan Tarikat Naqsabandiyyah dan Tarikat Khalwatiyyah yang diasumsikan diinisiasi atau sekedar di perkenalkan oleh Syeikh
al-Makassari.
Berkat Syeikh al-Makassari kemudian
beliau diperintahkan belajar ke Timur Tengah mengikuti rute yang pernah
dilakukan oleh al-Makassari. Dari beberapa tempat dalam rutenya di perkirakan
beliau juga belajar beberapa guru dan diinisiasi oleh guru Tarikat yang hidup
pada masa itu selain berguru kepada Syeikh Zayn al-Yamani.
Perlu dicatat di sini beberapa murid Syeikh al-Singkili (w. 1693) yang sezaman dan barangkali bertemu dengan Syeikh al-Mutamakkin
antara lain Syekh Abdul Muhyi asal Jawa Barat, Syekh Abdul al Malik bin
Abdullah (1089-1149/1678-1736) asal Semenanjung
Melayu yang di kenal sebagai tokoh pulau Manis dari Trengganu, Syekh Daud al JawiFansuri bin Ismail bin Agha
Mustafa bin Agha Ali al-Rumi. Yang terahir ini adalah murid kesayangan Syeikh
al-Makassari yang juga sebagai Khalifah utamanya.
Barangkali Syeikh Assingkili-lah yang
yang menginisiasi Syeikh al-Mutamakkin ke dalam Tarikat Sattariyyah meski sumber-sumber yang ada tidak memberikan angka tahun pertemuannya,
dugaan ini didasarkan atas catatan teks karangan Syeikh al-Mutamakkin yang
membicarakan Tarikat Sattariyyah berbahasa Arab Melayu (Jawa Pegon).
Begitu juga ketika sampai di Makkah dan Madinah, Syeikh al-Mutamakkin tidak menemui guru-guru
Syeikh al-Singkli dan Syeikh al-Makassari karena mereka sudah meninggal dunia.
Ia hanya menemui generasi selanjutnya yang dapat dicatat dari kolega-kolega
Syeikh al-Singkli dan Syeikh al-Makassari. Karena ada baiknya di sini
dikemukakan hubungan antara Syeikh al-Singkli dan Syeikh al-Makassari serta
ulama-ulama yang berperan yang hampir sezaman dengan Syeikh al-Mutamakkin agar
dapat di ketahui situasi dan interelasi keilmuan pada masa itu.
Jika guru-guru Syeikh al-Makassari
antara lain:
·
Syekh Ayyup bin Ahmad bin Ayyup
al Dimasqi a -Khawati (994-1071H/1586-1661
M), maka guru-guru Syeikh al-Mutamakkin adalah generasi berikutnya yang bisa
jadi murid-murid dari ulama tersebut atau teman-teman Syeikh al-Makassari. Di
banding murid-murid Syeikh al-Makasari lainnya, Syeikh al-Mutamakkin lebih dulu
berkiprah karena murid-murid Syeikh al-Makassari hidup dan berkiprah pada abad
18 sedangkan Syeikh al-Mutamakkin hidup pada masa peralihan abad 17 dan 18.
Syeh Ahmad Mutamakin memiliki
murid-murid besar seperti Kyai /Syekh Ronggo Kusumo, Kyai Mizan, R. Sholeh dan
murid-murid lainnya yang tersebar dimana-mana.
Karir kehidupan Syeikh Mutamakkin adalah
sebagai Ulama Besar dan Budayawan yang telah berjasa banyak dalam menyebarkan
Islam di Pantai Utara Pati Jawa Tengah dengan pusatnya Desa Kajen sebagai basis
gerakan perjuangan dakwahnya Syeikh Mutamakkin. Bukti-bukti sosiologis dan
arkeologis dari dampak gerakan dakwah Syeikh Mutamakkin adalah berkembangnya
Islam di wilayah pantai Utara Pati dengan pesat. Mayoritas masyarakat diwilayah
ini adalah beragama Islam. Banyak berkembang Podok Pesantren-Pondok pesantren dan
Madrasah-madrasah dan majlis taklim sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan
Islam.
Selain sebagai tokoh Ulama Besar, Syeikh
Mutamakkin dalam pandanganmasyarakat setempat diakui sebagai seorang awliya’.
Syeikh Mutamakkin mendapatkan penghormatan dan pemulyaan yang begitu tinggi
oleh masyarakat Kajen dan sekitarnya. Setiap tahun di gelar tradisi ḥaul beliau
setiap tanggal 9-10 Syuro. Acara ḥaul ini berlangsung selama satu bulan penuh.
Segala kegiatan baik yang bersifat religius maupun hiburan kesenian rakyat di
pentaskan dalam acara ini. Para pengunjung datang dari berbagai daerah, selain
meyaksikan perayaan ḥaulnya Syeikh Mutamakkin juga sekaligus melakukan ziarah
di makamnya. Sebagai ciri Ulama besar, maka Syeikh Mutamakkin menghasilkan
karya ilmiah yang memuat pikiran-pikiran keagamaannya, yaitu Teks Arsy
al-Muwahiddūn, dan kidung sufi al-Mutamakkin. Didalam teks tersebut memuat
pikiran-pikiran keagamaan Syeikh Mutamakkin, diantaranya adalah mengenai
masalah tauhid atau aqidah, masalah fiqih, dan masalah tasawuf. Namun,
keberadaan teks ini adalah lebih dominan muatan mengenai masalah Tasawufnya.
Keberadaan teks ini masih disimpan oleh generasi sepuh Syeikh Mutamakkin dan
tidak setiap orang dapat mengaksesnya, atau bisa dibilang merupakan teks
pusaka.
Perkembangan Ekonomi Masyarakat Kajen
Keberadaan Syeikh Ahmad Mutamakkin di
Kajen membawa perubahan terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat Kajen,
perkembangan ekonomi ini akibat dari adanya perkembangan lembaga pendidikan di
Kajen. Keberadaan Syeikh Mutamakkin di Kajen ibarat matahari ditengah-tengah
Desa Kajen yang menyinari masyarakat Kajen dan sekitarnya dengan cahayanya. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya adalah adanya pertumbuhan
dan perkembangan lembaga pendidikan Islam di Kajen, baik lembaga pendidikan
formal maupun non formal. Lembaga pendidikan non formal berupa munculnya
Pesantren dimana-mana di setiap sudut Desa Kajen, majlis ta’lim yang menyebar
di setiap gang dan perkampungan desa Kajen, dan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan
Islam formal mulai dari PAUD, TPQ,TK Islam, MI, MTs, MA, SMK, dan Perguruan
tinggi Islam. Disamping itu, juga dapat di lihat dari keadaan dan kondisi
sosial masyarakat Kajen yang sangat religius, munculnya ulama-ulama dan para
santri di Desa ini yang kemudian melanjutkan dakwah Islam di masyarakat Kajen
dan sekitarnya, bahkan alumni dari Pesantren Kajen sekarang telah menyebar dari
berbagai daerah di tanah air.
Dari perkembangan Pesantren dan
madrasah, dan majlis taʽlim di Kajen telah membawa perubahan bentuk masyarakat
Kajen yang lebih pas disebut suatu komunitas masyarakat muslim. Hal ini membawa
dampak perubahan terhadap ekonomi masyarakat, dari banyaknya siswa dan santri
yang menuntut ilmu di Kajen maka membawa lapangan kerja baru bagi masyarakat
Kajen, banyak masyarakat Kajen, oleh karena itu sebagian masyarakat Kajen
menggantungkan hidupnya dengan berprofesi sebagai pedagang, sebagian lagi
menjadi guru Madrasah, guru sekolah dan menjadi ustad yang memberikan ceramah
kemana-mana atau menjadi seorang Kyai yang memberikan pengajaran di
Pesantren-pesantren. Dan sebagian lagi masyarakatnya membuka toko-toko pakian
muslim, toko teks, toko buku, toko minyak wangi, warung makanan dan minuman,
dan toko-toko yang menyediakan segala kebutuhan dan pernak-pernik para santri
dan santriwati. Di sepanjang jalan masuk makam Syeikh Mutamakkin di Desa Kajen
adalah berderet toko-toko yang menjual perlengkapan para santri dan keperluan
para peziarah yang datang, warung-warung makanan dan minuman buka sampai 24 jam.
Hal ini memudahkan bagi para peziarah dan santri yang ingin menikmati suasana
Desa Kajen setelah melakukan ziarah di makam Syeikh Mutamakkin.
Makam Syeikh Mutamakkin selalu ramai di
kunjungi para peziarah. Banyak para santri yang melakukan muthala’ah teks di
sana, sebagian lagi menghafal al-Qur’an di lokasi makam sehingga para penjual
makanan dan minuman selalu ramai dikunjungi para santri dan para peziarah.
Lebih-lebih pada waktu peringatan ḥaul Syeikh Mutamakkin, para pedagang muncul
disetiap jalan dan sudut Desa Kajen, Desa Ngemplak, Desa Buluimanis, Desa
Sekarjalak,hingga Desa Waturoyo. Keadaan yang demikian ini membawa keuntungan
dan keberkahan tersendiri bagi para pedagang karena acara ḥaul Syeikh
Mutamakkin ini berlangsung selama sebulan dan dihadiri puluhan ribu pengunjung.
Prosesi ini acara ḥaul ini kemudian di lanjutkan dengan acara ḥaul Raden KH.
Ronggokusumo yang terletak di desa Kajen dan sekaligus merupakan murid dan
kemenakan Syeikh Ahmad Mutamakkin.
Kisah Beliau
Keterhubungan dengan Kajen
Menurut pengamatan dari para sesepuh dan
cerita yang kini masih beredar di masyarakat setempat, konon pada zaman dahulu
yang termasuk orang pertama di Desa Kajen sebelum Syeikh Ahmad Mutamakkin ialah
KH. Shamsuddin, kemudian KH. Shamsuddin mempercayakan serta menyerahkan Desa
Kajen kepada Syeikh Ahmad Mutamakkin. Setelah mendapatkan kepercayaan tersebut,
akhirnya beliau berkenan Hijrah dan menetap di Desa Kajen. Sebagaimana cerita
Kyai Telingsing yang menyerahkan dan mempercayakan Kota Kudus kepada Sunan Kudus.
Dari peristiwa inilah kemudian Desa itu di namakan Kajen, berawal dari istilah
Kaji Ijen (istilah Jawa).
Perlu di tambahkan disini, bahwa bekas
kediaman KH. Shamsuddin terletak di sebelah utara perguruan Mathaliul Falah
mengarah ke timur dan sampai sekarang periginya (sumur) masih terawat dengan
baik. Adapun makamnya terletak di sebelah Barat makam Syeikh Ahmad Mutamakkin
atau tepatnya di sebelah selatan Telaga.
Kemungkinan tempat tinggal KH.
Shamsuddin berada di sebelah utara Madrasah Mathaliul Falah adalah ada
benarnya, karena dapat di temukan sisa-sisa peninggalan KH. Shamsuddin berupa
sumur tua yang sampai sekarang masih terawat dengan baik. Sumur tua itu
sekarang di rawat oleh juru kunci sumur Mbah Shamsuddin.
Disumur tua ini dapat di jumpai para peziarah
yang melakukan mandi dan mengambil air dari sumur bekas peninggalan Mbah
Shamsuddin, sumur tua ini di yakini oleh masyarakat setempat dan sekitarnya
terkandung berkah dan karomah tertentu yang dapat digunakan untuk mengobati
suatu penyakit, khususnya bagi orang yang terkena santet, teluh, tenung, leak,
guna-guna dan berbagai jenis sihir lainnya, disamping itu juga untuk suatu
hajat tertentu.
Bukti-bukti arkeologi keberadaan Mbah
Shamsuddin ini adalah dengan adanya makam beliau yang terletak di sebelah
selatan Makam Sheikh Ahmad Mutamakkin dan adanya peninggalan sumur yang
diyakini keramat oleh sebagian masyarakat yang terletak di sebelah utara
Madrasah Mathaliul Falah. Sumur ini menurut penuturan masyarakat setempat
adalah sumur petilasan (peninggalan) Mbah Shamsuddin, sumur ini sekarang di
jaga oleh juru kunci. Di sumur ini setiap hari banyak di jumpai para pengunjung
yang mengambil air dan mandi disini untuk berbagai keperluan diantaranya untuk
keperluan berobat khususnya bagi orang-orang yang terkena tenung, santet, dan
segala jenis sihir lainnya, serta untuk berbagai keperluan lainnya.
Perekat Jaringan Sejarah Ulama
Sebagaimana diketahui bahwa ulama utama
yang terdapat pada jaringan ulama abad-17 dan ke-18 adalah Syekh Ibrahim al Qurani (1614-1690 M) yang merupakan murid dariSyekh al Qusyayi. Kenyataan bahwa Syeikh
al-Qurani memiliki posisi sangat penting dalam perkembangan jaringan ulama
lebih lanjut, terlihat tidak hanya melalui jumlah murid-muridnya tetapi juga
melalui karya-karya yang cukup banyak. Dia merupakan titik bersama bagi
terbentuknya garis-garis hubungan ulama-ulama pada abad ke-17 dan ke-18, bahkan
beliau dipilih sebagai Mujaddid abad-17.
Tidak mengherankan, seperti pendapat
al-Katani, bahwa murid-murid di Haramain tidak sempurna dalam
studi Hadits sebelum belajar dan
menerima Hadits darinya. Mereka
memadati halaqahnya di dekat bab al-Wada’ dan bab Umm Hani, masjidil haram Mekah. Hasilnya isnad dan periwayatan hadits dari Syekh Hasan al Ajami luar biasa luas.
Alim selanjutnya yang pantas disebutkan
di sini adalah [[Syekh Barzanji | Syekh Muhammad bin Abdul al Rasul al Barjan.
Setelah belajar di Mesir, Syekh Barzanji kembali ke Haramain
dan kemudian menetap di Madinah di mana dia wafat pada
1692 M. Dia juga terkenal sebagai muhaddits, faqih, dan Syekh Tarikat Qadiriyyah yang mengabdikan diri pada penulisan dan pengajaran.
Ulama-ulama tersebut selain tokoh sufi
juga dikenal sebagai muhaddits yang dapat di percaya,
ini menunjukkan bahwa neosufisme telah makin kuat dan menemukan bentuknya pada
dekade ini. Nampaknya, para ulama Haramain menyadari semakin
pentingnya jalan essoteris (haqiqat) akibat tarikat-tarikat yang dibawa,
misalnya oleh ulama-ulama dari India menghasilkan interaksi, rapprocement dan
interaksi lebih inten diantara ulama sufi dengan ulama fiqih yang menekankan
jalan eksoteris (Syari’ah).
Syekh Abdul Khaliq al Mizjaji putra Syekh Zayn al Mizjaji nampaknya meninggal dunia hampir sezaman dengan Syekh al Mutamakkin yaitu
sekitar 1740 M. Ulama-ulama pergantian tersebut bisa jadi kemungkinan karena
tak ada data yang mengemukakannya, tetapi setidaknya dapat memberikan gambaran
situasi jaringan ulama yang melingkupinya.
Dengan demikian kiprah Syeikh
al-Mutamakkin juga termasuk dalam karakteristik neosufisme. Ini diperkuat
dengan catatan yang banyak mengutip Hadits-Hadits dalam menjelaskan paham
keagamaannya. Sementara dilihat dari gelarnya yaitu al-Mutamakkin tingkat
kedudukan seorang yang utama, kokoh dalam pendirian dan kuat memegang kebenaran
seolah dia diyakini atau diteguhkan sebagai wali, pemimpin para wali di dunia
yang dalam thabaqat wali disebut Wali Quthub.
Syeikh al-Mutamakkin melakukan praktek tasawuf
falsafi dan tasawuf sunni dalam satu tindakan tasawuf amaly. Ia juga
mendialektikan dengan tradisi lokal. Pekerjaan yang sungguh berat memang, akan
tetapi bentuk upaya Syeikh al-Mutamakkin menjernihkan Islam Jawa dengan
kebenaran Tauhid. Mereka yang tidak memahami secara langsung pemikiran dan
paham keagamaanya tentu akan mudah menuduh yang bukan-bukan. Dan inilah yang
termasuk menjadi polemik sebagaimana tergambarkan dalam serat Cebolek.
Dalam Serat Cebolek di kisahkan tentang
pengadilan Syeikh Ahmad Mutamakkin terjadi pada masa pemerintahan Sunan
Pakubuwono II. Namun cerita yang dimuat dalam versi ini berbeda dengan apa yang
sebenarnya menjadi kenyataan dimasyarakat. Syeikh Ahmad Mutamakkin begitu
sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Dalam versi serat Cebolek ini Syeikh
Mutamakkin di gambarkan sebagai seorang Kyai yang lebih mengedepankan mistik.
Bahkan, di tuduh yang bukan-bukan yaitu
dianggap seorang yang telah melakukan pembangkangan terhadap syari’at, untuk
lebih jelasnya cerita yang dimuat dalam serat Cebolek adalah sebagai berikut:
Tersebutlah pengadilan Syeikh Mutamakkin yang di ceritakan dalam serat Cebolek
yang terjadi pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II. Sebuah ajaran yang
menuntun pada tindakan terpuji. Cerita ini mengenai Syeikh Mutamakkin dari
daerah Tuban. Ia telah membuka ilmu rahasia dan menyiarkan rahasia ilmu haq
yang memegang teguh hakikat dan menolak Syari’ah. Karena dia menolak hukum
syari’at, pengetahuannya tentang hakikat menjadi tidak bisa diterima,
membingungkan dan kacau, ia membuka tabir yang menyembunyikan rahasia-rahasia
itu, dilubangi dan digulung dan dengan begitu tersebarlah kerusuhan diseluruh
negeri, kelakuan yang tidak terpuji.
Keberaniannya dalam kepercayaan tanpa
halangan, orang baik kehilangan martabatnya, kekuatan mempengarui mereka
seperti sihir, keangkuhan bertambah. Ketika Ia dengan kasar meninggalkan hidup
tapa hatinya tidak ingat dan teburu-buru. Karena kecongkakannya Ia telah di
kuasai celaka dan merasa diri utama. Akhirnya Raja campur tangan, mencoba
menyelesaikan masalah. Setan-setan telah mengipasi orang terpelajar tanpa tanpa
watak mulia ini, yang membawa orang-orang tersesat, yang kata-katanya kosong
sama sekali yang hatinya lemah dan takut. Keahliannya dalam mengemukakan ilmu
mistik mendapat simpati banyak orang, sungguh keinginannya telah menyihir orang
banyak. Pada mulanya hanyalah kata-kata tetapi kemudian telah menimbulkan
kejahatan yang nyata. Semakin hari semakin luas pengaruhnya ada sebelas orang
yang di anggap sebagai Iblis, yang omongannya ngawur dan mereka ada dalam
kemalangan terus menerus. Demikianlah cerita tentang ulama jawa yang hidup
dalam zaman yang mulia Sunan Prabu Amangkurat menjadi terkenal, orang-orang
membicarakannya karena ia membahayakan seluruh kaum ulama.
Ajarannya tentang ilmu mistik dianggap
sesat karena ia menyebut dirinya sama dengan kekuasaan kemauan Tuhan. Yang
menjadi perselisihan, dengan kukuh, keras dan kasar, ia menguraikan
keyakinannya tanpa bisa dihentikan, yang berakibat adanya tuduh menuduh dan ini
menjadi sungguh -sungguh dan luar biasa. Pesisir Timur Jawa ada dalam kekacauan
dan didaerah Tuban, Syeikh Ahmad Mutamakkin menjadi musuh orang banyak karena
ia memperlakukan aturan Nabi dengan kasar. Dicebolek disatukan masyarakat
menjadi rusuh. Dia diserang dan dilawan oleh para ulama dari daerah pesisir
yang berkata: “Janganlah merusak hukum karena merupakan pendurhakaan terhadap
raja. Sesungguhnya raja berwenang menghukum, karena ia adalah wakil Tuhan di
dunia, siapa membahayakan kekuasaannya”.
Tetapi KH. Mutamakkin tidak tergoyahkan,
mantap dan berani ia tidak lari dari bahaya tetapi berani menghadapi hukuman.
Banyak ulama datang memberi nasehat, tetapi ia malah tetap terus menternakkan
anjing. Dari kudus sebanyak 12, yang terbesar diberi nama Abdul Qahar ia
mempunyai empat anak anjing pemimpinnya dinamai Qamarudin. H. Mutamakkin
sangatlah angkuh. Para ulama setuju bahwa masalah ini harus diteruskan kepada
baginda raja, karena H. Mutamakkin tidak mau dinasihati, ia telah memandang
rendah negara.
Para ulama daerah pesisir mengirimkan
surat edaran kepada semua ulama dari Pajang, Mataram, Kedu, Pagelen, dan
Mancanegara bersama salinan suratnya. Menurut mereka kepercayaan yang dipegang
teguh Cabolek terletak pada tuntutannya menjadi yang sejati yaitu Muhammad, dan
ia berani menghadapi hukuman. Pada waktu para ulama berangkat menuju ibu kota
seluruh daerah pesisir ada dalam kebingungan. Semua ulama mengambil bagian,
dari bagian Timur Jawa datang Kyai Busur, Ki Watana dari Suralaya bersama Mas Sidas
Rema. Pemimpin para ulama Ketip Anom dari daerah pesisir tiba di Kertasura.
Sebelum pembicaraan mulai sekonyong-konyong Raja tertimpa penyakit Prabu
Mangkurat kemudian wafat, dan digantikan oleh putranya Raden Mas Prabayaksa
yang bergelar Pangeran Dipati dan menempati kedudukan ayahnya setelah susuhunan
dimakamkan di Lawiyan, segera setelah penobatan dilak ukan pengajuan perkara
kepada raja.
Para ulama dari daerah pesisir berkumpul
kembali tak ada yang ketinggalan. Dan sebagaimana yang dari Pajang, Mataram,
Pagelen, Kedu dan Mancanegara tak seorangpun yang dapat membaca Qur’an. Mereka
diijinkan berangkat dan berkumpul bersama dikediaman Maha Mantri Danurejo
mereka membuat persiapan yang akan disampaikan kepada raja dengan persetujuan
para wadana.
Seluruh Wadana dari daerah pesisir dan
mancanegara serta Wadana Kertasura sepenuhnya sepakat berkata bahwa ia (Syeikh
Mutamakkin) layak dihukum. Para ulama telah tiba, kayu bakar telah ditimbun
dekat alun-alun utara, bersama dengan persembahan yang sangat melimpah minyak
kelapa dalam gentong. Pada saat H. Mutamakkin akan dibakar, ada wadana jero
yang mengetuai pengadilan namanya Raden Demang Urawan ia sepupu pertama Sri
Baginda Raja, kakak perempuannya telah diambil sebagai Prameswari oleh Sri
Baginda Raja, namanya Ratu Kencana. Demang Urawan sangat dihormati oleh Sri
Baginda Raja, pada kesempatan ini diundang kekeraton menghadap Sri Baginda
Raja.
Raja berkata lirih “Wahai Bapang, apakah
yang telah dikatakan pamanku, perdana menteri? Apakah para ulama Jawa sedang berkumpul.”
Raden Demang Urawan segera menundukan kepala dan berkata, “Benar mereka semua
telah datang dan malahan telah diberitahu dengan baik tentang bagian-bagian
pembahasan yang betul mengenai ilmu mistik. Para ulama Jawa yang telah
berkumpul jumlahnya 142, semuanya telah dinilai dan dibagi menjadi
kelompok-kelompok sekelompok golongan rendah sekelompok golongan unggul terdiri
dari 44 orang.
Pilihan lanjut telah dibuat 40
ditinggalkan dari padanya 22 telah dipilih yang terbaik darinya lalu dipilih
dan sekarang hanya tinggal 7, hanya lima dari daerah pesisir 4 ulama datang
dari Pajang satu dari Mancanegara satu dari Pagelen yang akan menyampaikan
pesan duka.” Demang Urawan berkata, “Diantara abdi-abdimu dari pajang tuanku,
salah satu telah dipengaruhi yaitu ulama dari Kedung Gede, ia telah ikut dengan
Mutamakkin dan mengajukan dirinya untuk dibakar menerima hukumanmu. Ia menjadi
pengikut Cabolek, dan keduanya sekarang satu tujuan. Mutamakkin menyatakan
menjadi yang sejati, karena itulah pamanku perdana menteri mengajukan
masalahnya kehadapan Tuanku.”
Sang raja berkata, “Bapang darimanakah
guru haji Cabolek ini yang berani menghadapi maut?” Raden Demang berkata
hormat, “Tuanku, waktu utusan-utusanmu kembali, mereka yang mengundang dan
mengawani dia berjalan tergesa-gesa, mereka adalah gentong umos bersama
Ragapita, baginda. Benarkah Haji waktu dalam perjalanan telah dilarang, bahwa
ia akan menghadapi bencana dari paduka Maharaja, tapi ia tidak mau mundur
sedikitpun, ia menerimanya dengan sepenuh hati.” Raja berkata, “Lalu bagaimana
waktu ia diperjalanan?” kata-katanya kepada para utusan. Raden Demang berkata,
“Tuanku Ia berkata begini : saya ucapkan terima ksih kalau Sri Baginda
Raja menghukumku. Anakku Ragapita, aku akan dikerubut para ulama dan pasti akan
di bakar. Dan mungkin bau asapku akan sampai di tanah Arab, tempat aku belajar,
di bawah Syeikh Zayn dari Yaman.”
Waktu dia bermalam disebuah pondokan
tuanku, setelah melaksanakan sembahyang Isya, ia tidak tidur, ia terus membaca
kusumawicitra danding dari serat Bima suci, sebuah danding yang ber-pada dua
belas setiap barisnya. Seperti Madu Retno yang dapat dimasukkan ke dalam
Bramarawilasita, untuk dibuat merdu dan serasi. Keduanya mempunyai sebelas pada
barisnya. Dan dapat diubah menjadi lebda jiwa Ia lalu membacanya dengan
menunduk dan membengkokkan badannya.” Raja berkata lirih, “Wahai Bapang,
bagaimana ini, yang kau bicarakan tentang ilmu rahasia, sepertinya mengikuti
cara seorang Budha. Bapang apakah gunanya itu merupakan penghinaan kepada Tuhan
bila seorang menjadi sesat.”
Raden Demang berkata, “Tuanku, ini
bukanlah suatu keburukan, menurut ajaran Haq, karena itu hanya di buat lambang
dan bukan sebagai kepercayaan. Lambang ini telah dipergunakan oleh banyak wali,
dan melalui lambang ini kesejatian telah dibukakan. Ia mulai langsung dengan
episode Bima mencebur ke dalam lautan. Tanpa memperdulikan rasa sakit Ia
mencari guru di tengah samudra, siap untuk mati. Kalau Ia tidak menemukannya,
Ia bermaksud mati di lautan, kalau Ia tidak memperoleh kesempurnaan. Waktu tiba
di tengah lautan besar, Ia di temui seorang Dewa kecil, sekecil seekor burung
pipit, lalu Dewa kecil Dewa Ruci memerintahkan untuk memasuki kupingnya, dan
Bima merasa heran sekali. Cerita inilah yang menjadi petunjuk untuk perbuatan
Syeikh Mutamakkin dalam perjalanan.”
Tersenyum Sri Baginda Raja berkata,
“Wahai Bapang, apa pendapatmu bahwa perdana mentri dan para wadana, semua
setuju bahwa Mutamakkin langsung dihukum di alun-alunku? Kebenaran mengatakan
padaku, jangan mau menuruti nasihat pamanku perdana mentri. Semua para ulama,
dan para wadana dalam pandanganku, Bapang Mutamakkin memaksudkan hanya untuk
dirinya. Ilmu semacam ini kalau Ia tidak mengajak orang lain membuat perubahan
disana sini orang-orang dari mancapat dan mancalima, dari mancanem dan
mancapitu dan semua telah berhasil dengan diajak untuk menolak hukuman. Dia
tidak dapat di hukum mati kalau Dia hanya berkata, “Tirulah ilmu mistikku. Dan
banyak yang telah menjadi muridnya dan kalaupun Ia tidak bertindak dengan cara
ini tetap lebih berbuat buruk lagi, saya harus tetap memaafkannya”.
Raden Demang berkata, “Betul sekali
Tuanku,” Raja berkata, “Bapang pergilah segera, sampaikan ketidak senanganku
kepada uwakku perdana mentri, juga kepada para ulama, bersama semua para wedana
supaya semua berkumpul di kepatihan. Umumkan kepada mereka ketidak senanganku”.
Lalu Ia mengundurkan diri dengan taat dan hormat, Ia meninggalkan istana dan
memanggil dua pesuruh yang taat, di perintahnya untuk menyampaikan pesan
kepatihan untuk mengumumkan bahwa: “Besok, aku akan ke tempat Danu Rejo, akan
datang pukul delapan. Untuk menyampaikan perintah Sri Baginda Raja. Para
Adipati supaya berkumpul didalam kepatihan bersama semua ulama.”
Dengan segera para pesuruh menyampaikan
seruan tadi ke kepatihan, tak di ceritakan tentang malam itu, tetapi besok
paginya patih Danu Rejo berkumpul dengan para Dipati. Semua menghadap ke Barat,
Adipati Danu Rejo menghadap ke Selatan, tapi sedikit miring ke Barat
menghormati ulama terhormat yang telah duduk disebelah Barat. Pada jam delapan,
semua yang sudah duduk berdiri waktu Raden Demang telah mengambil tempatnya.
Semuanya kembali duduk, Ki Dipati perdana Mentri juga duduk dengan lainnya.
Sedangkan Raden Demang segera mulai
menyampaikan perintah Sri Baginda Raja. Matanya begitu nyalang sehingga semua
adipati menjadi takut dan juga para ulama. Waktu perintah disampaikan,
ketidak-senangannya menggelisahkan. Setelah ketidak-sengannya Sri Baginda Raja
selesai disampaikan, Adipati Danu Rejo hanya dapat berkata dua patah, dan
setelah itu seraya berdiam diri, para wadana semua menundukkan kepala. Dan bagi
para ulama semua merinding di bawah pengaruh muka Sri Baginda Raja. Mata
Cabolek berkedip-kedip seperti orang sedang sekarat. Kini seorang yang sedang
berbicara adalah Ketib Anom dari Kudus, yang menjadi marah laksana menjangan
luka. Marahnya memuncak, wataknya yang seperti singa muncul, belikatnya naik
turun laksana burung garuda mengepak sayap di medan laga, seperti Pragalba si
pahlawan, menuruti hatinya yang penuh emosi.
Ia melihat ke kanan dan ke kiri, semua
telah menundukkan kepalanya, semua rekan para ulamanya bersama para Dipati
kepalanya semua menunduk, wajahnya pucat. Ketib Anom dari Kudus mulai
menunjukkan marahnya. Ketetapannya mulai bertambah kuat, ditimpali
keberaniannya, Ia mengetatkan serbannya, menggulung lengan Baju dan bergerak
maju dua nampak angkuh tetapi kata-katanya lemah lembut seperti Raden Bali
Putra ketika dia diutus oleh Raja Ramawijaya untuk menyampaikan peringatan
keras kepada Dasamuka. Ia menimbulkan ketakjuban orang yang melihatnya. Ia
memang kelihatan tampan dan belia.
Ketib Anom: “Anakku, aku minta maaf
karena berani menyela pembicaraan mengenai ketidak-senangan Sri Baginda Raja,
yang ditujukan kepada Perdana Menteri. Semua penyampian rasa kemarahan Sri
Baginda Raja itu salah alamat.” Raden Demang Urawan merasa kaget, dan segera
balik memandang ke wajah Ketib Anom yang sedang berbicara. Ia melihat muka
dengan lengan berkecak pinggang, rambutnya berdiri lurus sangat tebal dan
berombak. Ia nampak seperti putra raja Langka Indrajid sang Perwira seperti
orang yang ditikam dan bertarung dengan seorang duta yang bernama Bali Putra,
yang waktu itu datang berprilaku angkuh. Raden Demang dan Ketib Anom bersilang
kata-kata untuk sejenak, seperti mereka saling bergumul untuk menekan, menguji
kekuatannya bertarung dengan gigih untuk suatu kemenangan terhormat, mereka
menjadi marah menyala, memukul satu lainnya dan balik berputar seperti didalam
perang pembalasan mereka sangat keras dan tajam.Akibatnya para ulama kembali
mengangkat kepalanya begitu juga para dipati mengangkat kepalanya tercengang
waktu mendengar Ketib Anom Kudus yang tidak sepaham dengan Raden Demang Urawan,
dengan marah berkata, “Apakah yang panjenengan anggap tidak tepat ?
Ketidak-senangan baginda Raja disampaikan kepada si Uwa, Perdana Mentri ?”
Ketib Anom berkata, “Benar anakku. Dasar
dan pokok dari perkara tidaklah cukup, alasan perdana Mentri telah melaporkan
diri karena ulama, semua dari mereka telah melaporkan itu kepada Sri perdana
Mentri yang mulia. Alasan bahwa si Uwa, Perdana Mentri yang mulia, berani
melaporkan ini dikarenakan para ulama berpendirian teguh dalam masalah itu.
Seharusnya adalah sumber dari laporan yang mesti di jewer oleh Sri Baginda
Raja. Dengan kata lain sayalah dan semua para ulama mesti menerima kemarahan
Sri Baginda Raja.
Raden Demang Urawan tertawa
terbahak-bahak mengayun kakinya dan berkata, “Betapa senangnya hatiku, melihat
seorang ulama yang melawan dengan gigih, yang berani sungguh-sungguh menghadapi
kematian, tangkas dan bisa tegar untuk berunding dan siap tempur. Kalau ia
seekor ayam jantan mestilah ia berbulu merah berkaki hitam dengan ekor
berbintik putih yang bertanding laksana garuda. Biarlah saya orang yang menjadi
atas nama Sri Baginda Raja, menegurmu, mengapa menyebabkan kekacuan pada negara
dengan membawa masalah ini pada raja, walaupun perkaranya belum sepenuhnya
tuntas, dengan melaporkan kepada perdana mentri? Apakah menjadi maksudmu
membawa ketidak-beruntungan kepada para ulama, menimbulkan kebingugan di
kerajaan dan membawa aib pada negara?” Setelah ketidak-senangan sang Narendra
selesai disampaikan, tapi sebagaimana di ketahui tak satupun dari kami para
ulama bermaksud atau merencanakan untuk mengganggu sang Narendra.
Ketib Anom berkata, “Anakku jika
panjenengan punya kritik padaku karena tidak menegur haji Mutamakkin, silahkan
tanya dia, Ia ada di depanku. Saya sering mendatanginya, mengingatkan anakku
tingkah lakunya yang tidak patut. Saya minta jawabmu hai Mutamakkin, mumpung di
depan pejabat, saat nyawamu hampir melayang.”
Ki Cebolek menjawab, matanya berkedik
seperti ngantuk, “Betul sekali anakku, panjenengan datang dan menegurnya, hanya
walau aku menghadapi maut aku takkan lari. Karena kebodohanku tak berniat
berguru terus. Aku menghadapi maut yang bukan waktunya. Aku akan mampu berusaha
menambah ilmu hatiku terus memperoleh kenyataan ini.”
Ketib Anom berkata murka, “Lha pikiran
macam apa itu, membikin sengsara dan menyakitkan, ada anjing diberi nama, Abdul
Kahar?” Semua yang mendengarkan terbelalak, Raden Demang kakinya di ayunkan dan
tertawa terbahak-bahak, ketib Anom Kudus berkata lantang, “Kamu ini memang
busuk dengan lancang membuat onar negara. Kalau kamu mau terkenal tingkah
lakumu dan bermaksud menjadi hebat jangan tangung-tanggung bertingkah.
Pindahkan gunung Merapi dan juga Prawata, letakkanlah di atas gunung Lawu dan
genggamlah di tangan kiri. Apapun yang kau lakukan jangan tangung-tanggung,
jangan mengindahkan jiwa ragamu.”
Ketib Anom berkata dengan keras
dihadapan Mutamakkin, “Anjingnya diberi nama seperti penghulu Tuban, Abdul
Qahar, anjing yang lain diberi nama khatib Qamaruddin. Tuanku, sesungguhnya
Mutamakkin itu bukan seorang manusia. Ia telah menghina Sang Narendra dan
melukai karena sesungguhnya prilakunya naudzubillah.
Anakku itulah sebabnya aku merasa wajib
melaporkan kepada patih Adipati Danurejo, supaya menjadi perhatiannya dan
meneruskan hal itu kepada Sang Narendra. Karena sesungguhnya yang menjadi sang
Narendra kalau Ia ingkar dari setiap sunnah Nabi menjadikan saripati Syara’ tak
dihargai dan di rusak. Wahai anakku diberitakan dalam teks Akhbaru al-Saltin.
Raja digambarkan sebagai pembela iman. Bila seorang menyebarkan ajaran mistik
dan menyebabkan gangguan untuk memperoleh pengikut dan kalau ini terjadi karena
raja tidak menjaga sunnah Nabi, pancaran wajahnya pasti lenyap.
Wahai anakku, apabila seorang raja
kurnia pancaran wajahnya susut, keharuman kerajaaannya pasti lenyap, yang
terjadi hanyalah tengik dan kaku dan akibatnya kegelapan akan turun ke bumi dan
bau busuk akan menyebar. Kenapa tidak memasang penjaga di kerajaan sang
Narpati? Sesungguhnyalah anakku, raja adalah hati jagad, hati adalah raja
didalam badan karena itu, anakku merupakan perumpamaan. Sesungguhnya setiap
mahluk hidup harus menjaga kebaikan dari hatinya. Karena itu setiap mahluk
hidup wajib menjaga raja tentang semua yang diketahuinya di kerajaan. Karya
raja seperti hati menggerakkan badan. Kesalahan raja dipikul oleh orang-orang
di bumi karena raja adalah hatinya jagad, badan rusak kalau hatinya merana. Dan
bila hati merana yang tidak di obati maka raja yang di salahkan.”
Raden Demang Urawan berkata hormat,
“Melindungimu, Tuanku, terhadap Haji Mutamakkin.” Lalu ketib Anom Kudus
memandang dan dengan gagah mulutnya bergetar, matanya bersinar dan dengan penuh
keberanian hamba telah di getarkan oleh penglihatannya. Ia berkata murka,
“Panjenengan anakku, telah menghargai kelakuan semacam itu dari haji Mutamakkin
dan kalau demikian halnya, panjenengan anakku telah merusak negara. Karena
menjadi tugas raja untuk melindungi sunnah Nabi, kalau seorang Raja menolak
sunnah Nabi keindahannya akan lenyap dan Ia akan membuat suram negara. Pastilah
negara akan runtuh. Kalau wajah sang Narendra hilang jelita, semua tindakannya
hanyalah sebuah kepahitan dan penderitaan”.
Sang Raja tertawa terbahak-bahak, dan
dalam pikirannya si Kudus ini orang yang berbahaya, yang menceritakan belum
menyelesaikan ceritanya tapi sang Narendra menolak dalam tawanya dan berkata,
“Kalau demikian, Bapang, marilah kita jalankan ajaran Islam, saya berniat
menghadiri sembayang Jum’at, beri tahu si Uwa Patih. Persiapkan untukku
terancang di dalam masjid. Jum’at depan aku akan hadir bila disepakati si Uwa
Patih. Karena merupakan kebiasaan lama shalat pertama raja haruslah di masjid.”
Sang Prabu berkata lagi, “Tentang H.
Mutamakkin rupanya seperti apa?” Raden Demang Urawan berkata humor, “Ia seperti
Wisangkata, seorang calon pertapa dan kelakuannya seperti trenggiling yang
sedang sekarat. Tak ada yang perlu dikatakan tentang penampilannya yang sangat
dungu seperti kelapa. Kalau duduk, ia menggelosor dalam satu pertemuan ia
seperti kena kutuk. Tapi Dia itu mantap satu sifat yang hamba tidak sangka juga
diantar kelompoknya itu tanpa guna. Hamba merasa heran atas kemauan sang sukma
agung orang seperti itu dapat menjadi haji. Ia telah di anugerahi memenuhi
rukun yang kelima dan di beri kesempatan mengunjungi makam Nabi, Nabi terbesar
jagad ini, kalau Ia tidak pergi naik haji Ia pantas menjadi penjual jerami atau
berdagang itik.” Sang Prabu sambil tersenyum berkata, “Itulah bapang, telah
menjadi suratan Ia di ciptakan dengan tampang dungu tetapi di beri hati yang
suci untuk menjadi petugas sukma, Ia telah di takdirkan memilih hati suci”.
Raden Demang Urawan berkata takdzim,
“Karena itulah Tuanku, pada kesempatan ini, manusia kecil dan hina ini telah di
tuduh berkali-kali seperti orang yang memiliki beban setengah mati memanjat
sebuah tebing”. Ia terlihat kembang kempis. Marahnya ketib Anom seperti
marahnya Bala Dewa memarahi Curumis, demikianlah wajah Mutamakkin seperti
Curumis. Kalau saja sengketa itu terjadi di luar, Cabolek akan habis
terkoyak-koyak oleh Ketib Anom Kudus. Ia sangat marah karena seekor anjing
dinamakan Qamaruddin dan yang lainnya Abdul Kahar. Karena Ia di penuhi rasa
amarah seperti itu, Ia seperti ingin menikam Haji Mutamakkin.
Sang Raja tersenyum berkata, “Bapang,
keinginanku semua yang telah di bicarakan disampikan kepada Si Uwa Patih, aku
batalkan perintahku, tak ada pembicaraan lanjutan. Aku telah memaafkan
terdakwa. Kalau Haji Ahmad Mutamakkin mengulangi tingkah lakunya yang tidak
patut di bumi ini pastilah akan akan aku hukum Haji Mutamakkin ini. Aku jadikan
Dia sasaran kemarahan di alun-alunku ini. Tetapi inilah pengampunanku yang ku
minta panjenengan melaksanakannya. Perintahku untuk selanjutnya di teruskan
kepada si Uwa Patih, kepada semua saudaraku, perintahku untuk diumumkan secara
luas. Tak seorangpun boleh belajar ilmu haq di dalam masjid tetapi mengajarkan
di luar negara aku berikan izinku. Kalau ada yang berani menghianati
perintahku, tak ada tempat mempertanyakan dosa, akan aku laksanakan hukuman
mati yang telah aku tetapkan di alun-alun sehingga boleh disaksikan orang-orang
Kertasura Adiningrat.”
Sumber:
v Buku Keraton Surakarta, 2008, penulis Purwadi dan Joko Dwiyanto
v *) Penulis buku Kisah Perjuangan, H.M. Imam Sanusi
v **) Azzumardi Azra dalam Jaringan Ulama
v ***)Insiklopedia NU (WIKI ASWAJA)
(Penyadur dan Penulis adalah Generasi Ke sembilan (9) Syekh Akhmad Mutamakkin)